beritatandas.id, BANDUNG BARAT – Pemerintah Kabupaten Bandung Barat hanya mendapat predikat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat pada tahun 2018.
Keadaan itu menadapat reaksi dari ketua DPC PKB Kabupaten Bandung Barat, menurut Asep Dedi keadaan itu harus menjadi cambuk bagi pemkab KBB untuk kedapan bisa meraih yang lebih baik.
Akankah impian opini WTP itu terwujud di tahun 2019 ini mengingat upaya perbaikan yang dilakukan pemda di tahun ini sangat minim dengan segudang permasalahan yang ada.
“Menilai dari tahun 2018 yang lalu, opini WDP yang disandang KBB jelas menunjukkan bahwa Kabupaten Bandung Barat masih memiliki masalah keuangan. Pandangan kami dari organisasi politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) cabang KBB melihat adanya beragam permasalahan khususnya terkait pengelolaan aset,” tegas Ketua DPC PKB KBB, Asep Dedi.
Maka, lanjut Dedi, harus ada percepatan langkah dari Pemerintah KBB yang mengurusi kejelasan aset, terutama dalam penyelesaian sertifikasi serta pencatatanya yang masih sangat banyak persoalan. Termasuk, aset lahan yang saat ini masih bersengketa.
“Hal yang menjadi kendala Pemda KBB untuk meraih opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian), adalah masalah aset tetap yang belum tertib, penyaluran dan pertanggungjawaban belanja,” ujarnya.
Maka, tambahnya, pencatatan dan inventarisasi yang masih belum sesuai, membuat aset selalu menjadi temuan BPK dalam pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Bandung Barat. Bahkan masalah aset ini menjadi persoalan yang paling banyak dikecualikan, sehingga mempengaruhi opini yang diberikan BPK.
“Masalah yang mempengaruhi opini yaitu dari Aset Tetap, diikuti masalah lainnya yaitu pendapatan dan belanja. Masalah pada akun aset yaitu tidak didukung dengan rincian aset yang memadai sehingga keberadaan fisiknya sulit untuk dapat ditelusuri,” jelasnya.
Faktor-faktor lain yang menghambat pengelolaan aset daerah Kabupaten Bandung Barat, seperti belum komprehensifnya kerangka kebijakan, persepsi tradisional yang tidak mengedepankan potensi pemanfaatan aset publik bagi pemasukan daerah, inefisiensi, keterbatasan data dan keterbatasan SDM yang berkompeten.
“Maka diperlukan komitmen hingga unit terkecil untuk melakukan inventarisir aset. Sumberdaya pengelola aset pun harus bertanggungjawab dalam pencatatan dan pengelolaannya,” tegasnya.
Ia menilai, komitmen SKPD Pemda KBB belum sampai ke tingkat bawah. Kebanyakan menganggap tanggungjawab aset ada di bagian atau bidang aset saja.
“Ini sangatlah ironis karena sebetulnya masalah aset ini seharusnya menjadi kompilasi dari semua dinas. Maka, untuk membenahi aset bisa dimulai dengan pendataan dari unit terkecil mendata semua dari catatan yang ada, lalu melaporkan ke unit atasnya begitu seterusnya,” paparnya.
Dia pun menjelaskan, beberapa persoalan yang sering muncul yaitu pencatatan aset yang belum lengkap dan akurat, aset tidak didukung dengan data yang handal yang mudah ditemukan, proses penyusunan laporan yang tidak sesuai ketentuan, aset belum dioptimalkan kebermanfaatannya, Standard Operating Prosedur (SOP) yang belum disusun secara valid dan realibilitas, aset berupa tanah yang belum bersertifikat, aset dikuasai pihak lain, dan aset yang tidak diketahui keberadaannya.
“Jelaslah bahwa Pemda KBB harus berkomitmen terus melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik, jika tidak harapan untuk meraih opini WTP mungkin hanya isapan jempol dan bahkan lebih parahnya kalo hal ini tetap tidak ada upaya yang serius Disclaimer pun bisa kejadian,” tegasnya.
Ia menambahkan, permasalahan lainnya adalah ketika terjadi mutasi. Pada saat pengidentifikasian serta pencatatan aset pelimpahan di SKPD yang dipecah, data aset yang sebelumnya telah diperbaharui dan menjadi LKPD, akan berubah terdampak perhitungan yang akan berbeda.
“Hal ini pula yang menjadi penghambat dalam pemeriksaan langsung oleh BPK untuk kepentingan opini WTP,” pungkasnya.
Redaksi
Leave a Reply