Johan J Anwari Angggota DPRD Jabar Dirikan Akademi Sepak Bola

beritatandas.id, BANDUNG – Pada 8 Juli 1990 dini hari adalah momentum yang tak terlupakan bagi Johan J. Anwari yang saat itu berusia 11 tahun. Pasalnya, untuk pertama kalinya ia berhasil melawan ngantuk demi menonton sepak bola partai grand final Piala Dunia antara Argentina melawan Jerman Barat

Pada babak-babak penyisihan, ia sering dibangunkan ayahnya untuk menonton Maradona, tapi ia tak berhasil melek, karena ngantuk tak mampu dilawannya. Ia kemudian hanya mendengar kisah-kisahnya dari tetangga dan terutama ayahnya sendiri yang juga penggemar sepak bola.

Menurut Johan, meskipun ayahnya adalah seorang ajengan, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hasan Utamana, tapi sangat gandrung sepak bola. Pada saat piala dunia 1990, sang ayah tak turut menonton di balai desa, melainkan di rumah, di hadapan televisi 14 inch hitam putih miliknya.

Kegemaran sang ayah, menurun kepada anaknya, Johan. Tidak hanya gemar menonton, tapi bisa memainkannya. “Saya bisa main sepak bola, mulai dari sepak bola api dan sepak bola biasa,” katanya, di Bandung, Rabu (24/2). “Bapak saya ajengan ge sok main bola,” tambahnya lagi.

Sepak Bola Bukan Bakat

Menurut anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ini, sepak bola itu bukan bakat, tapi keahlian sehingga bisa dipelajari dan dilatihkan. “Banyak anak bintang, tapi tak jadi bintang, kalau bakat itu menurun. Itu harus dihapus.

Karena itulah, ia mendirikan Akademi Sepak Bola Galuh Utama dua tahun. Saat ini ada sekitar 60 anak muda yang berada di akademinya itu.

“Tahun kedua, akademi yang saya dirikan melakukan kerja sama pembinaan, Persib dengan nama Akademi Persib Galuh Utama Ciamis. Kita menjadi bagian pembinaan Pesib usia muda. Dan Maradona sebagai inspirasi,” katanya.

Namun, karena ia berlatar belakang dan mencintai pesantren, akademi sepak bolanya didesain seperti pesantren karena lokasinya pun di Pondok Pesantren Al-Hasani Utamana yang terletak di Jln. Utama I Gang. HR. Abdullah Basjari Dsn. Wetan Desa Utama Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.

Sehingga, lanjutnya, para siswa akademinya pun wajib mengaji pada jadwal-jadwal yang telah ditentukan.

“Respons masyarakat sangat antusias, siswa banyak yang datang. Padahal mereka harus sembari nyantri dan berdiam di pondok pesantren.

Menurut Johan, para siswa akademi sepak bolanya yang berusia 14 sampai 18 tahun itu harus mengaji selepas maghrib dan mengaji lagi setelah subuh. Kemudian berlatih sepak bola dengan instruktur berpengalaman yang telah melintang di persepakbolaan nasional.

Menurut dia, tim instruktur, mereka melakukan pembelajaran teori dan praktik yang berlaku sesuai standar kurikulum di akademi Persib Bandung. Karena berada di pesantren, Johan memadukannya dengan kurikulum pesantren, terutama dalam pembentuk karakter dan akhlak

Sementara untuk pendidikan formal, akademi itu bekerja sama dengan SMP dan SMK Ma’arif NU yang juga berada di kompleks pesantren Al-Hasan Utamana. Ssitem pembelajarannya sejak awal didirikan melalui daring dan terpisah dengan siswa yang tak terdaftar di akademi.

Ia berharap akademi sepak bolanya yang berbasis pesantren tersebut membuah pemain-pemain andal yang mewarnai dunia persepakbolaan tanah air.

“Saya berharap dan bermimpi pemain bola profesional tak hanya lihai bola, tapi akhlaknya, spiritual dan rohani yang baik, ini yang mungkin bisa mengubah sepak bola Indonesia,” jelasnya.

Johan melanjutkan, akademi tersebut ditangani beberapa instruktur yang bersertifikat nasional, bahkan Asia. Ia menyebut di antaranya, yaitu Edi Rosadi yang memiliki segudang pengalaman sebagai penjaga gawang di antaranya pernah di Persikota Tangerang, Bandung Raya, Persma Manado, Warna Agung, Harimau Tapanuli, Persiba Balikpapan, dan Persipura Jayapura.

Istruktur lainnya adalah Andri Wijaya, seorang pelatih yang mengantungi lisensi B AFC (level Asia). Juga ada Cucu Marcu, Doman, Nanang Supriatna, “Yang jelas mereka berpengalaman dan kini berlisensi sebagai instruktur,” pungkasnya.

Redaksi

Exit mobile version