Pakar: Permendikbudristek PPKS Memberi Perlindungan Hukum dan Perlu Didukung

beritatandas.id, Jakarta – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudrikstek) menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) sebagai Merdeka Belajar Episode Keempat Belas: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual.

Dalam peluncuran Merdeka Belajar episode teranyar ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim menjadi moderator sesi diskusi panel dengan narasumber tokoh-tokoh yang ahli dibidangnya.

Para narasumber adalah Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Andy Yentriyani; Sekretaris Umum Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama, Alissa Wahid; Pakar Hukum dan Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti; dan Perwakilan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Kyai Faqihuddin Abdul Kodir.

Narasumber pertama adalah Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Andy Yentriyani. Andy menuturkan pada tahun 2020, angka kasus kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan terus meningkat.

“Tahun ini terdapat 2.389 kasus kekerasan. 53% dari jumlah tersebut adalah kasus kekerasan seksual, termasuk di dalam lembaga pendidikan. Ini adalah kasus yang berhasil dilaporkan ke Komnas Perempuan. Banyak kasus yang tidak terlaporkan sama sekali,” ujar Andy.

Lebih lanjut Andy menyampaikan bahwa kasus kekerasan seksual, bisa terjadi terhadap mahasiswi oleh mahasiswa atau oleh dosen, atau dosen terhadap dosen yang lain, ataupun juga terhadap karyawan ataupun pekerja lain di dalam lingkungan pendidikan.

“Konsep menyalahkan kekerasan seksual sebagai tindakan suka sama suka menjadi hambatan terbesar dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual,” tegas Andy.

Untuk itu, kata Andy, Permendikbudristek PPKS ini penting untuk hadir khususnya di perguruan tinggi.

“Komnas Perempuan sangat mengapresiasi Permendikbudristek PPKS yang diterbitkan dibawah kepemimpinan Mas Menteri. Terutama Pasal 19 yang menekankan bahwa jika upaya untuk menyikapi, baik itu pencegahan dan penanganan kekerasan ini tidak dilakukan maka juga ada sanksi. Bukan hanya saja kepada pelaku tetapi kepada lembaga pendidikan itu sendiri,” tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, pakar hukum dan dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mendukung hadirnya Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ini melengkapi kerangka hukum yang saat ini sudah ada.

Menurutnya, “Permendikbudristek PPKS ini keluar karena intinya adalah, semua orang yang bisa melakukan sesuatu dan punya kewenangan sesuai kapasitasnya harus terus bergerak. Karena angka kasus kekerasan seksual ini bukan sekadar angka. Satu saja yang menjadi korban, itu adalah manusia yang jadi korban,” tutur Bivitri.

Bivitri menekankan, jika di masyarakat ada yang mempertanyakan boleh atau tidak seorang menteri membuat peraturan seperti ini, ia menjawab dengan tegas, boleh.

“Dalam teori hukum ada wewenang membuat peraturan berdasarkan atribusi, di mana dalam hal ini wewenang untuk mengatur kampus-kampus adalah milik Kemendikbudristek,” jelasnya.

Terkait sebagian kecil publik yang mempermasalahkan kata ‘tanpa persetujuan’ seakan menjadi boleh untuk melakukan hubungan seksual jika ada persetujuan. Bivitri menilai alasan tersebut tidak berdasar.

“Saya sebagai pembelajar hukum sangat terganggu. Karena dalam hukum, terutama dalam sistim hukum Indonesia, bukan begitu cara berpikirnya. Tidak semua yang tidak diatur dalam sebuah peraturan maka menjadi boleh. Tidak seperti itu,” jelasnya seraya menggarisbawahi bahwa Permendikbudristek ini khusus mencegah dan menangani kekerasan seksual, bukan mengatur soal-soal lainnya.

Terakhir Bivitri juga menjawab mispresepsi masyarakat terkait perlindungan bagi pelaku kekerasan di kampus sehingga tidak perlu dibawa ke ranah penegakan hukum.

Bivitri melihat bahwa Permendikbudristek ini mengatur dari dua sisi, yaitu pencegahan dan pendampingan.

“Permendikbudristek PPKS mengatur juga pendampingan hukum. Pendampingan hukum untuk siapapun itu, bisa mahasiswa atau dosen, bisa melakukan pelaporan. Jadi, tidak menghilangkan atau memberikan imunitas untuk pelaku, tapi didampingi agar kasusnya bisa selesai,” ujarnya.

Sementara itu, Kyai Faqihudin Abdul Qadir, perwakilan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengatakan, pada 2017 KUPI sudah mengeluarkan fatwa haramnya kekerasan seksual dan wajibnya melindungi korban.

“Permendikbudristek PPKS tidak hanya perlu diapresiasi. Permendikbudristek ini adalah bagian dari jihad lil mustadh’afin atau melindungi orang-orang yang memang harus dilindungi,” jelas Kyai Faqih.

Kalau kembali ke ajaran Islam, kata Kyai Faqih, ada banyak nalar yang bisa diketengahkan dalam konteks Permendikbudristek PPKS ini.

Diantaranya adalah nalar bahwa perspektif dasar dari seluruh hukum Islam itu adalah membela dan melindungi korban.

“Permendikbudristek PPKS dalam konteks ini sangat Islami, syar’i, dan harusnya didukung oleh semua umat Islam,” tegas Kyai Faqih.

Selanjutnya, kata Faqih, Permendikbudristek PPKS juga bertujuan untuk mewujudkan sikap saling menghormati, mendukung, tidak melakukan kekerasan, pemaksaan dan kekerasaan seksual.

“Untuk itu, saya yakin sekali, substansi dari Permendikbudristek PPKS betul-betul selaras dengan jihad jihad lil mustadh’afin dan memastikan bahwa politik pemerintahan dalam Islam harus memastikan yang terlemah memiliki hak. Saya atas nama warga bangsa, umat Islam, dan insan perguruan tinggi menyampaikan apresiasi,” ucap Kyai Faqih.

Selanjutnya, Sekretaris Umum Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (NU), Allisa Wahid mengatakan bahwa dirinya menyambut baik Permendikbudristek PPKS karena menjawab kondisi yang menurutnya sudah penting dan genting.

Menurut Alissa, kekerasan seksual yang dialami seseorang, dampaknya akan diterima juga oleh keluarga orang tersebut. Memberikan konteks keluarga dalam Nahdlatul Ulama, Alissa menyampaikan.

“Anggota keluarga yang mengalami ketidakadilan seperti kekerasan seksual akan sulit meyakini bahwa dunia ini adil dan korban tidak mungkin mendapat keadilan dan haknya untuk mendapatkan penyelesaian persoalan. Bagaimana kemudian keluarga itu menciptakan kehidupan yang membawa maslahat?”.

Alissa meyakini ada banyak keluarga yang menyimpan luka dan duka karena anaknya tidak mendapat keadilan dan penyelesaian (closure) dari kampus terkait kekerasan seksual.

“Permendikbudristek ini bisa menjadi jalan ke arah penyelesaian. Permendikbudristek ini bisa memberikan kesempatan bagi keluarga yang anggotanya mengalami kekerasan seksual untuk menyelesaikan kasus. Permendikbudristek ini juga bisa mencegah kejadian kekerasan seksual selanjutnya.” terang Alissa.

Menutup dengan kutipan dari Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa ‘perdamaian tanpa keadilan hanyalah ilusi’, Alissa menggarisbawahi.

“Ketika seorang korban ketidakadilan, dalam hal ini korban kekerasan seksual yang dilakukan dibawah relasi kuasa tidak bisa mendapatkan keadilannya, perdamaian di universtitas hanyalah ilusi”.

Redaksi

Exit mobile version