Syaiful Huda Buka Gelaran Bedah Buku & Antologi Puisi karya Lilik Ahmad Alim

beritatandas.id, BANDUNG – Forum Komunikasi Generasi Muda Nahdatul Ulama (FKGM-NU) gelar Refleksi Budaya dan Bedah Buku Antologi Puisi “Mengetuk Pintu Langit” karya Lilik Ahmad Alim, di Sekretariat FKGM-NU Jabar, Jl. Ahmad Dahlan No. 1B Kota Bandung, pada Sabtu malam 07 Desember 2019, pukul 19.00 – selesai.

Kegiatan tersebut dibuka oleh Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda yang juga ketua DPW PKB Jawa Barat adapun pengisi orasi budaya antara lain Syahri A. Tanjung, Kurnia Permana,Yosep Yusdiana, dan Iwan Setiawan, serta musik akustik Aap Akel.

Dalam kesempatan itu, Syaiful mengucapkan selamat atas gelaran bedah buku ontologi puis, membaca, menulis dan diskusi harus menjadi tradisi.

Lilik Ahmad Alim Ketua FKGM-NU Jawa Barat memaparkan landasan pemikirannya perihal hajat budaya yang diinisiasinya tersebut. Ia mengupas secara singkat soal Strategi Kebudayaan di era politik pasca kebenaran atau politik pasca realitas (post truth).

Ia mengkritisi soal kenyataan yang ada dari pembangunan ini, apa yang terlihat dan apa yang sudah dihasilkan, apakah benar-benar merupakan output dari sebuah kebudayaan masarakatnya?

“Tentu pertanyaan ini sangat menggelitik, karena pembangunan yang sudah dilakukan pemerintah mulai dari pusat sampai daerah selama Indonesia merdeka pada kenyataannya semakin menggerus semua kebudayaan yang ada di Indonesia, malah generasi muda merasa asing dengan budayanya sendiri,” ungkap Lilik.

Menurutnya, pemerintahan Jokowi pernah mendorong dan mengadakan Kongres Kebudayaan Indonesia pada tahun 2018, yang menghasilkan tujuh poin agenda strategis kebudayaan. Kegiatan ini berdasar pada UU No 5 tahun 2017, tentang pemajuan kebudayaan.

“Undang-undang ini menjelaskan bahwa pemajuan kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan,” paparnya.

Ketujuh agenda strategis kebudayaan itu merupakan prioritas pemajuan kebudayaan nasional selama 20 tahun ke depan. Pertama, menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya untuk memperkuat kebudayaan yang insklusif.
Kedua, melindungi dan mengembangkan nilai, ekspresi, dan praktik kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional.

Ketiga, mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat kedudukan Indonesia di Dunia Internasional. Keempat, memanfaatkan obyek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kelima, memajukan kebudayan yang Melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem.

Keenam, reformasi kelembagaan dan penganggaran kebudayaan untuk mendukung agenda pemajuan kebudayaan.
Ketujuh, meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan.

“Strategi kebudayaan hasil dari KKI 2018, sudah bagus namun berbeda dengan kenyataan yang ada, di mana dominasi politik kekuasaan lebih dominan dan meng-hegemoni sendi-sendi kehidupan yang ada. Kebenaran tunggal seolah ingin dipaksakan dibantu dengan buzzer dan hoaks,” katanya.

Dijelaskan, rekayasa opini pada publik untuk memanipulasi realitas sengaja diciptakan demi sebuah kepentingan sehingga menjadi pembenaran umum. Daya kritispun sebagai bagian dari ekspresi masarakat pada keadaan tertentu menjadi ketakutan tersendiri.

“Sehingga kebanyakan orang memilih bungkam melihat realitas yang ada, padahal sangat banyak keganjilan. Fenomena ini begitu sangat dirasakan, bisa juga sebagai akibat dari perpolitikan internasional,” katanya.

Ia mengatakan, fenomena media sosial sebagai sumber berita semakin signifikan. Di saat yang sama, semakin besarnya keetidakpercayaan masyarakat terhadap fakta dan data yang disajikan oleh institusi terkait maupun media masa.

“Budaya politik di mana perdebatan dibingkai sebagian besar oleh daya tarik emosi yang terputus dari perincian kebijakan, dan oleh pernyataan berulang dari poin pembicaraan yang bantahan faktualnya diabaikan, itulah yang dimaksud dengan politik pasca kebenaran,” paparnya.

Ia berharap, pelaksanakan amanat demokrasi dengan mencoblos untuk memilih Presiden, Wakil Rakyat dan Gubernur tentunya berharap bahwa cita-cita pembangunan yang sudah terealisir dalam APBN dan APBD sesuai dengan apa yang tertuang dalam strategi kebudayaan, tidak bagian dari lip service atau pengakuan sepihak belaka.

Begitupun dengan yang sedang terjadi di Jawa Barat, menurutnya, satu tahun dari pemerintahan Ridwan Kamil belum menunjukkan hasil yang jelas dari sisi pembangunan berlandaskan strategi budaya.

“Memang dibangun di beberapa daerah, gedung kebudayaan serta penataan beberapa alun-alun tapi itu semata baru sebatas pemenuhan proyek saja. Selain itu di Jawa Barat fenomena intoleran yang merupakan bagian dari pemaksaan kehendak sangatlah tinggi, situasi ruang publik yang seharusnya milik bersama serta milik semua golongan menjadi tidak kondusif,” papar Lilik.

Sebagai solusi dari permasalahan yang ada, tegas dia, adalah mengupayakan kembali kesadaran masarakat akan budaya aslinya atau revitalisasi budaya, serta arah pembangunan yang berbasis strategi kebudayaan.

“Komunitas NU (Nahdatul Ulama) yang punya sejarah panjang dari bangsa Indonesia mempunyai peranan penting dalam hal ini. Apalagi dengan adanya UU Pesantren bisa menjadi pilar yang kokoh untuk pembangunan serta keutuhan Bangsa,” jelas Lilik.

Dengan begitu, harap dia, kekerasan budaya politik yang mengedepankan manipulasi publik serta pembungkaman daya kritis adalah pengkhiatan pada kemanusiaan. Maka, pembangunan yang berlandaskan pada strategi kebudayaan harus benar-benar diterapkan untuk kesejahteraan rakyat terutama menciptakan situasi yang kondusif pada alih generasi supaya generasi muda tidak ikut teracuni oleh situasi yang ada.

“Penguatan pendidikan karakter berlandaskan kebudayaan, pendidikan karakter berakar pada kebudayaan merupakan sebuah identitas. Juga penguatan kepariwisataan berlandaskan kebudayaan yang dapat menurunkan tingkat kemiskinan agar secepatnya dilaksankan,” pungkasnya.

Redaksi

Exit mobile version