Taufik Nurrohim Dukung Pernyataan Gubernur: Keadilan Fiskal Untuk Perubahan Skema Bagi Hasil Pusat Ke Daerah

Beritatandas.id – Anggota Komisi III DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Taufik Nurrohim, S.Psi, menyatakan dukungan terhadap pernyataan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dalam rapat bersama Komisi II DPR RI (29 April 2025), yang menyuarakan ketimpangan fiskal, beban pelayanan daerah, serta stagnasi pemekaran wilayah di Jawa Barat.

“Buruh bekerja di Karawang, Bekasi, Cikarang. Tapi pajaknya masuk ke DKI Jakarta karena NPWP perusahaan di sana. Jawa Barat menanggung dampak sosial dan infrastruktur, tapi tidak mendapat bagi hasil yang adil,” tegas Dedi Mulyadi.

“Banyak desa di Jawa Barat sudah berubah karakternya karena pertumbuhan industri, tapi statusnya tetap desa. Ini sudah tidak relevan,” ungkapnya.

“Kabupaten Bogor penduduknya lebih dari 6 juta jiwa, tapi tetap kabupaten. Sementara kota dengan 250 ribu jiwa berdiri sendiri. Ini membuat alokasi fiskal menjadi tidak adil,” tambahnya.

Ini Suara Struktural, Bukan Sekadar Curhat

Taufik menyebut pernyataan Gubernur bukan sekadar keluhan, tapi bentuk penegasan struktural atas desain fiskal nasional yang belum berpihak pada realitas daerah dengan beban tinggi seperti Jawa Barat.

“Pernyataan Pak Gubernur adalah seruan kolektif. Kami di DPRD sudah lama memperjuangkan hal ini, tapi suara kami sering dianggap lokal. Kini dengan disuarakan di DPR RI, kita berharap pusat lebih mendengar,” ujar Taufik.

Potret Ketimpangan: Jawa Barat Dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur

Taufik menjelaskan bahwa ketimpangan fiskal dapat dilihat dari perbandingan antarprovinsi. Jawa Barat memiliki jumlah penduduk tertinggi di Indonesia, yakni lebih dari 50 juta jiwa. Namun jumlah kabupaten/kotanya hanya 27, jauh lebih sedikit dibandingkan Jawa Tengah yang memiliki 35 dan Jawa Timur 38 kabupaten/kota.

Dari sisi jumlah desa, Jawa Barat hanya memiliki sekitar 6.273 desa, sementara Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing memiliki lebih dari 8.000 desa. Akibatnya, rata-rata penduduk per desa di Jawa Barat jauh lebih tinggi — sekitar 8.000 jiwa per desa — dibandingkan Jawa Tengah (sekitar 4.400 jiwa) dan Jawa Timur (sekitar 4.900 jiwa).

Meskipun demikian, alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) PPh 21 yang diterima Jawa Barat justru lebih rendah. Tahun 2024, Jawa Barat hanya menerima DAU sekitar Rp3,1 triliun, sementara Jawa Tengah mendapatkan Rp3,68 triliun dan Jawa Timur bahkan mencapai Rp4,2 triliun. Untuk DBH PPh 21, Jawa Barat memperoleh sekitar Rp107 miliar, lebih rendah dibanding Jawa Tengah dan Jawa Timur yang masing-masing menerima Rp120 dan Rp130 miliar.

“Jumlah penduduk lebih banyak, desa lebih padat, beban sosial lebih besar—tapi anggaran lebih kecil. Ini anomali dalam sistem fiskal nasional,” lanjut Taufik.

Masalah Pemekaran Desa dan Penataan Wilayah

Menanggapi keluhan Gubernur tentang desa dan kecamatan, Taufik menyatakan bahwa banyak desa di Jawa Barat sudah bertransformasi secara ekonomi dan sosial, namun masih terkunci dalam status administratif yang membatasi kemampuan fiskalnya.

“Desa-desa seperti di Cileunyi, Tambun, dan Bojongsoang sudah seperti kota. Tapi tetap statusnya desa. Akibatnya, pelayanan publik tidak bisa optimal karena terkendala struktur,” kata Taufik.

Ia juga menyoroti pentingnya penggabungan atau penataan ulang kecamatan, terutama di daerah dengan beban pelayanan tinggi seperti Kabupaten Bogor, agar distribusi administratif dan fiskal lebih efisien.

Usulan Solusi dari sebagai anggota Komisi III DPRD Jawa Barat

Taufik menyampaikan enam langkah konkret untuk mendorong perubahan kebijakan fiskal dan administratif:
1. Revisi PMK 108/2024: formula Dana Desa harus mempertimbangkan rasio jumlah penduduk, bukan sekadar letak geografis.
2. Perubahan DBH PPh 21: dibagi berdasarkan lokasi kerja buruh, bukan NPWP kantor pusat.
3. Revisi Permendagri No. 1/2017: relaksasi syarat pemekaran desa di wilayah urban padat.
4. Aturan baru penataan kecamatan: pemerintah pusat perlu membuat regulasi teknis untuk penggabungan atau restrukturisasi kecamatan.
5. Reformulasi DAU: perhitungkan variabel kepadatan, beban pelayanan publik, dan angka kemiskinan absolut.
6. ⁠Evaluasi moratorium CDOB: wilayah seperti Garut Selatan, Bogor Timur, dan Sukabumi Utara harus diprioritaskan sebagai DOB strategis dan matang.

Penutup: Saatnya Negara Mengakui Beban Nyata Jawa Barat

“Kami tidak meminta perlakuan khusus. Yang kami perjuangkan adalah pengakuan atas beban pelayanan yang kami tanggung. Puluhan juta penduduk, ribuan desa padat, dan kawasan industri terbesar di Indonesia adalah realitas Jawa Barat hari ini,” ujar Taufik.

Ia menegaskan bahwa keadilan fiskal bukan soal belas kasihan, melainkan soal pembagian tanggung jawab yang proporsional, berdasarkan data dan fakta lapangan.

“Jika negara mau membangun secara merata, maka daerah yang menopang paling banyak, seperti Jawa Barat, juga harus diberi dukungan fiskal yang setara. Ini soal keadilan, bukan keistimewaan,” tutupnya.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Rekomendasi Berita Terkait
KDM Diminta Adil Terhadap Siswa dan Sekolah Swasta

KDM Diminta Adil Terhadap Siswa dan Sekolah Swasta

Warga Desa Jayamakmur Digegerkan Dengan Penemuan Mayat Laki-laki di Saluran Irigasi

Warga Desa Jayamakmur Digegerkan Dengan Penemuan Mayat Laki-laki di Saluran Irigasi

Perkokoh Persatuan, Syaiful Huda Sosialisaikan 4 Pilar Bersama Dewan Syuro PKB

Perkokoh Persatuan, Syaiful Huda Sosialisaikan 4 Pilar Bersama Dewan Syuro PKB