Bandung,beritatandas.id– Kebijakan baru terkait Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) menuai sorotan tajam dari DPRD Provinsi Jawa Barat. Anggota DPRD Jabar, M. Faizin, mengkritisi kebijakan Kementerian Pendidikan yang dinilai tidak hanya membingungkan masyarakat, tetapi juga berpotensi menimbulkan kesenjangan akses pendidikan antarwilayah dan kelompok sosial.
Dalam pernyataan resminya, Selasa (24/6/2025), Faizin mengungkapkan bahwa banyak orang tua dan calon siswa mengeluhkan ketidakjelasan mekanisme penerimaan siswa baru yang kini lebih menekankan pada Tes Potensi Akademik (TPA) dibandingkan nilai rapor.
“Kalau tiba-tiba rapor tidak lagi dijadikan acuan dan diganti dengan tes, lalu standar teknisnya seperti apa? Bagaimana dengan anak-anak dari daerah atau keluarga kurang mampu yang tidak terbiasa dengan sistem tes semacam ini? Ini bisa menimbulkan ketimpangan,” ujar politisi dari Fraksi PKB itu.
Ia menilai bahwa kebijakan tersebut menunjukkan lemahnya komunikasi publik dari Kementerian Pendidikan, sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi yang utuh dan memadai. Alhasil, pelaksanaan SPMB di lapangan menjadi tidak seragam dan membuka ruang interpretasi yang berbeda-beda di setiap sekolah.
“Pemerintah pusat, khususnya Menteri Pendidikan, harus bertanggung jawab atas kebingungan yang terjadi. Jangan sampai siswa dan orang tua menjadi korban kebijakan yang tidak siap dan tergesa-gesa,” tegasnya.
Faizin juga menyoroti persoalan kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Menurutnya, jika rapor siswa dicoret dari penilaian karena dicurigai sebagai hasil manipulasi, maka ini adalah bentuk ketidakpercayaan yang sangat berbahaya terhadap sekolah-sekolah di Indonesia.
“Kalau rapor tidak dipercaya, lalu apa yang bisa kita pegang dari proses pendidikan formal selama ini? Ini bukan hanya soal teknis penerimaan, tapi sudah menyentuh ke persoalan trust atau kepercayaan publik,” tegasnya.
Ia mendorong Kementerian Pendidikan untuk segera membuka ruang dialog dengan pemerintah daerah, DPRD, sekolah, dan masyarakat guna mencari solusi bersama. Jika tidak segera dibenahi, menurut Faizin, kebijakan ini bisa memperburuk kualitas dan pemerataan pendidikan di Indonesia.
“Jangan sampai sistem baru justru jadi sumber keresahan nasional. Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, bukan hanya yang punya akses pada bimbingan belajar atau tinggal di kota besar,” pungkasnya. ***
Redaksi