Rendahnya Kualitas Respon Publik Terhadap Kritik Politik Yang Dilontarkan Oleh Mahasiswa di Indonesia

Surabaya, beritatandas.id – Dengan dilantiknya presiden dan wakil presiden baru Indonesia periode 2024-2028 memang sudah menjadi perbincangan hangat di masyarakat, bukan hanya pujian dari pendukung kader

ini, melainkan juga banyak kritik dan opini yang dilontarkan rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, pemilihan presiden ini cukup memunculkan banyak opini kritis dari berbagai mahasiswa Indonesia mulai dari isu politik dinasti sampai dengan lemahnya konstitusi negara.

Namun, hal yang menjadi sorotan adalah bagaimana respon masyarakat Indonesia terhadap kritik para mahasiswa ini. Mulai dari kritik yang ramai dari BEM Universitas Gadjah Mada yang membuat aksi protes di depan bundaran kampus dengan baliho besar.

Sampai gerakan protes BEM Fisipol Universitas Airlangga terhadap politik di Indonesia yang sempat menjadi bahan perdebatan. Kritik semua mahasiswa tersebut merupakan bagian dari
kebebasan warga negara Indonesia dalam menyampaikan pendapat, melakukan kebebasan bersuara, dan memerdekakan pikiran sebagaimana yang sudah tertera dalam Undang Undang Dasar 1945, Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28I ayat (1).

Sayangnya bentuk protes ini banyak di salah artikan oleh masyarakat Indonesia, mulai dari penyerangan personal terhadap kedua ketua BEM UGM dan BEM Fisipol Unair sampai dengan
teror ancaman yang dilontarkan di social media. Teror yang diberikan sangat beragam, ada komentar negatif tentang tampilan fisik sampai dengan pelecehan seksual yang sudah sangat
menyimpang dari tujuan utama adanya protes mahasiswa ini. Apakah pantas suatu individu dilecehkan hanya karena menyampaikan pendapatnya? Mengapa tidak ada yang peduli? Seakan respon negatif ini menjadi suatu hal sepele dan tidak penting sampai tidak pernah menjadi sorotan publik.

Tentu saja respon masyarakat Indonesia terhadap kritik yang dilontarkan mahasiswa sangat penting sebagai cerminan realitas pendidikan politik yang ada di negara. Dengan respon
masyarakat yang bukan fokus terhadap mengapa mahasiswa bisa sampai menyampaikan argumentasi tersebut, tetapi menyerang kembali mahasiswa yang memang mempunyai peran sebagai agen perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control), dan penjaga moral
(moral force), yang memang mereka memiliki kewajiban moral untuk melakukan kritik terhadap
pemerintah.

Fenomena ini menjadi suatu bukti bahwa pilar demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia sudah mulai hancur, implementasi ilmu dan kepekaan sosial mahasiswa yang telah
dipelajari di kampus rasanya menjadi hampa melihat banyak masyarakat yang belum bisa melihat urgensi kritik politik ini. (Red)

Penulis : Pramesti Rahmaning Raisya Dirgantara Putri
Universitas : Universitas Airlangga
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis