Beritatandas.id, KARAWANG – Terkait penyematan status zona Hitam Covid-19 yang terjadi di beberapa wilayah Kabupaten Karawang, membuat masyarakat bertanya terkait kriteria status zona Hitam, dan pertanyakan tentang proses protokol yang berhubungan dengan Covid-19, tentang penanggulangan dan penindakan dari Tim Satgasus Covid-19 Kabupaten Karawang.
“Zona hitam itu artinya apa? Kemudian pengawasan dan satgas Covid-19 terhadap protokol kesehatan bagaimana? Karena minggu lalu saja di Cikampek ada yang melakukan hajatan persis didepan Kantor Polsek Cikampek padahal Cikampek masuk dalam Zona Merah dan hanya cukup mengantongi izin dari kepala desa, hajatan bisa di gelar, sementara Caffe dan beberapa tempat keramaian seolah bebas, ” ujar Risna Sundari Purba, selaku ketua di organisasi underbownya orang nomor satu di Republik Indonesia, yaitu Posko Perjuangan Rakyat (POSPERA) Cabang Kabupaten Karawang, pada (14/7/2020)
“Jangan sampai juga misi kemanusiaan dilakukan, hanya sekedar untuk kepentingan membuat LPJ untuk menurunkan anggaran, tapi pergerakan dilapakan tidak maksimal, atau itu anggaran mentoknya dimana,” imbuh Risna.
Masih kata Risna, “Kami pernah membantu satu keluarga yang anggota keluarganya dinyatakan positif COVID 19, namun tidak ada kesiapan dari Pemda untuk membantu pasien ODP yang harus melakukan Karantina selama 14 Hari, pasien tersebut masih dibawah umur dan harus melakukannya karantina mandiri sendirian di rumahnya, karena orang tuanya pada saat itu harus dikarantina di RS. Akhirnya kami mengirimkan makanan siap saji untuk pasien ODP selama 14 Hari,” paparnya.
Lebih jauh Risna memaparkan, “Terus terang saya kasian juga pada petugas tingkat kecamatan yang tentunya menjadi garda terdepan dalam penanganan Covid-19 ini, jadi repot juga kan mereka” paparnya.
” Lalu terkait hal tersebut ada RS yang mewajibkan dilakukannya Rapid Test terhadap pasien sakit dan diperlukan Rawat Inap, meskipun pasien tersebut tidak ada gejalan Covid-19, ini jadi membebankan pasien, karena harus membayar sendiri biaya rapid test nya sebesar Rp. 200.000 Ini terjadi hari Minggu tanggal 12 Juli 2020, kami mendapatkan pengaduan seperti itu dan setelah dilakukan Konfirmasi kepada pihak RS memang itu merupakan kebijakan dari RS. Akhirnya pasien harus mencari RS yang tidak memaksa melakukan Rapid Test jika harus opname,” kata Risna.
Risna menambahkan, “Masalahnya, bagaimana jika ada pasien yang memang membutuhkan perawatan, dan tidak memiliki uang untuk melakukan rapid tes? Kalau begini caranya sama aja lagi merampok rakyat, dalam situasi yang serba sulit begini jangan jadikan nyawa manusia sebagai komoditi atas dasar Covid-19,” pungkasnya.
Redaksi
Leave a Reply