Asep Syamsudin : Pendataan Penerima Bansos Covid Harus Akurat

beritatandas.id, BANDUNG – Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD Provinsi Jawa Barat memuji langkah gubernur melalui Gugyus Tugas Penanggulangan Covid-19 terkait Bantuan Sosial Bencana Covid-19 bagi warga miskin berupa uang tunai dan kebutuhan pokok senilai Rp 500ribu. Namun fraksi ini cemas bantuan tersebut malah akan berujung kisruh, karena proses pendataan warga calon penerima yang sangat berpeluang tidak tepat sasaran.

Salah satu anggota FPKB, Asep Syamsudin mengupas tuntas biang permasalahan potensi kekisruhan di level terbawah warga calon penerima bantuan tersebut.

Dikatakan, entah kenapa penghimpunan data warga calon penerima bantuan yang tersebar di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, tim Gugus Tugas Covid-19 yang dikomandoi Sekretaris Daerah POemerintah Provinsi Jawa Barat, dilakukan dengan mengambil jalan pintas.
Dijelaskan, dalam menghimpun data calon penerima bantuan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengandalkan dinas sosial di setiap daerah untuk melaksanakan padanan pendataan sesuai peraturan pemerintah. Namun sayangnya, data yang dipadankan itu adalah data warga miskin yang sudah terdaftar di dinas social setiap kabupaten/kota.

“Ini tidak menjawab permasalahan lemahnya ekonomi masyarakat sebagai dampak dari covid-19. Sebab, dampak dari wabah virus corona ini bukan hanya bagi warga miskin yang sudah terdaftar sebelumnya di dinsos, tetapi banyak yang saya istilahkan ‘misbar’, warga miskin baru akibat social distanching sehingga dia kena PHK karena perusahaannya berhenti berproduksi, usaha dagangnya tidak berjalan, dan banyak lagi penyebabnya,” papar Asep.

Lebih dari itu, lanjut dia, problem keluarga pra sejahtera yang sudah terdaftar sebelumnya di dinas sosial jauh-jauh hari sebelum munculnya wabah virus corona, itupun tidak sepenuhnya mampu ditanggulangi oleh pemerintah, baik pusat, provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Ia mencontohkan keluarga pra sejahtera di Kabupaten Bandung, di mana data keluarga miskinnya sekitar 365ribu yang secara rutin diperbarui lalu diinput ke kementerian dua kali dalam setahun.

“Nah, apakah keluarga miskin yang 365 ribu itu bisa ditanggulangi seluruhnya? Nggak. Yang bisa ditanggulangi itu hanya setengah atau lebih setengahnya sedikit melalui program PKH dan BLT dari pemerintah pusat, dan PBI bantuan iuran dari provinsi. Tapi dari 365 itu tidak terjawab oleh program tadi,” katanya
Lalu, sekarang ini Pemprov Jabar meluncurkan bantuan keuangan bagi warga msikin terdampak Covid-19 dengan sumber data yang hanya mengacu pada program tersebut. Menurutnya, niat Pemprov Jabar itu memang baik, tetapi jika pendataannya dilakukan secara tergesa-gesa malah akan menimbulkan masalah baru di lapangan karena dapat dipastikan pembagian bantuan itu tidak akan merata dan akan menimbulkan kecemburuan sosial.

“Terlebih diperparah dengan munculnya warga msikin baru yang belum tentu terdeteksi oleh pemerintah. Indah di tataran media, tapi malah akan jadi madhorot dalam pelaksanaan karena jumlah DPKS saja tidak tetjawab oleh ketiga program tadi. Contoh di Kabupaten Bandung tadi, dari sekitar 365ribu keluarga miskin yang berhasil dicatat, itu yang ter-update ke kementerian hanya setengahnya, sekitar 160ribuan. Data inilah yang dipadankan menjadi calon penerima bantuan social covid-19. Bayangkan apa yang akan terjadi ketika bantuan itu turun kepada satu keluarga? Apakah tetangganya yang juga miskin tidak akan cemburu karena tidak kebagian?” ungkapnya.

Atas sekelumit permasalahn itu, tegas Asep, Fraksi PKB mengusulkan agar dilakukan penghitungan ulang dengan mengakomodasi data keluarga msikin dan keluarga msikin baru sesuai dengan yamng diharapkan oleh pemerintah itu sendiri. Namun ia mengakui, jumlah calon penerima bantuan akan membengkak dengan munculnya warga msikin barusehingga anggaran yang telah disiapkan tidak akan mencukupi.
Dikatakan, Asosiasi Pemerintahan Desa (Apdesi) kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung sudah menyatakan menolak bantuan social covid-19 itu karena menilai sisi pendataan calon penerima bantuan itu tidak obyektif. Organisasi perangkat desa ini khawatir malah akan terjadi konflik horizontal, di mana petugas kesejahteraan social di kecamatan atau desa-desa sampai toingkat RW dan RT akan menjadi sasaran keluhan warga.

“Lalu bagaimana caranya? Bisa dengan mengubah besaran bantuan, jangan 500ribu kalau memang tidak mampu, misalnya okey lah jadi 300ribu, karena akan terjadi tambahan kuota. Yang kedua, coba masa bantuannya jangan empat bulan dulu, coba dua bulan dulu. Apalagi dua bulan ini kan masuk pada bulan Syaban dan bulan Ramadhan, kan pas kata saya mah, yang penting semua kabagian,” papar Asep.

Redaksi