beritatandas.id, JAKARTA – Faham Radikalisme yang harus dibendung dan dilawan adalah radikalisme yang bermakna negatif, dalam hal ini bisa disebut faham di mana seseorang atau kelompok merasa benar sendiri kemudian memaksakan kebenaran versi mereka itu kepada orang lain baik dengan tipu daya maupun tindakan pemaksaan yang mengganggu ketenteraman dan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Biasanya orang atau kelompok tersebut memanipulsi agama untuk mencapai tujuannya.
Radikalisme menurut Prof. Mahfud MD dibagi 3 tingkatan:
1. Tingkatan pertama adalah yang disebut Takfiri, yang menganggap orang yang tidak sama idiologinya kafir dan layak dimusuhi, contohnya orang yang menganggap orang lain yang tidak pakai jilbab kafir.
2. Tingkat kedua disebut Jihadis, yakni orang yang menganggap membunuh orang lain adalah bentuk dari perjuangan, contohnya Teroris ISIS, JI, JAD dan lain sebagainya.
3. Tingkat ketiga Idiologis, yakni yang memiliki wacana dan upaya propaganda untuk mengganti idiologi Pancasila dengan idiologi mereka, contohnya HTI dan semacamnya.
Radikalisme dengan berbagai tingkatan, saat ini memanfaatkan era keterbukaan informasi seperti sekarang dengan memproduksi dan menyebarkan HOAX atau berita bohong guna menarik dukungan dengan sasaran masyarakat sebagai penerima berita dan bisa sekaligus berperan sebagai penerus atau bahkan produsen berita. Hal ini bisa terjadi karena literasi (pemahaman) soal pengelolaan informasi sangat minim. Masyarakat mudah percaya dan memviralkan berita-berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan apalagi yang berbau agama.
Radikalis menjadikan HOAX sebagai strategi yang efektif. Karena mereka berprinsip sedang berperang sehingga boleh melakukan tipu daya dan tipu muslihat termasuk penyebaran berita bohong (HOAX).
Kemudian ada yang namanya ujaran kebencian (hate speech). Ujaran-ujaran melalui forum-forum dan media sosial yang isinya hujatan, hinaan dan provokasi bersumber dari HOAX tadi. Masyarakat menjadi marah, takut dan gelisah sehingga mudah digerakkan untuk kepentingan Radikalis tadi
Setelah orang menjadi benci akibat terpapar HOAX dan Hate Speech, dia akan menjadi intoleran menjadi rasis, menjadi radikalis, merasa benar sendiri, melihat orang yang tidak sepaham adalah lawan yang harus diserang atau dimusnahkan. Tidak lagi ada rasa damai dalam hatinya, kebencian terus menjadi penyakit yang membutakan mata kemanusiaan.
Akibatnya, mereka yang rasis dan intoleran akan menjadi radikalis. Melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak umum, menyerang orang lain, menyerang pemerintah dan melupakan kemanusiaan. Radikalis tedak segan menyerang aparat, membunuh orang lain, membakar aset negara, merusak fasilitas umum yang kemudian menghancurkan rasa aman dan tenteram, membunuh kemanusiaan.
Untuk melawan dan membendung hal tersebut peran Pers Mahasiswa sangat penting, karena mahasiswa sebagai agen perubahan dan intelektial harus mempublikasikan pengetahuan pengelolaan informasi kepada masyarakat (mahasiswa lainnya) melalui pemberitaan yang mereka publikasikan.
Point-Point yang perlu disampaikan Pers Mahasiwa adalah :
1. Pertama, Pers Mahasiswa kembali mengingatkan ajaran para pendiri bangsa yang telah melahirkan NKRI, Pancasila, UUD 45 yang sudah sangat jelas petunjuk untuk mengamalkannya dan teruji oleh jaman.
2. Kedua, Pers Mahasiwa mengajarkan kemampuan menguji setiap informasi yang diterima masyarakat, sehingga mampu menolak informasi, menolak menyebarkan, menolak memproduksi segala macam HOAX.
3. Ketiga, Pers Mahasiswa mampu menahan diri tidak mudah mengeluarkan umpatan rasis, cacian fitnah dan ujaran kebencian lainnya, namun memilih untuk mengedepankan rasa hormat dan empati kepada sesama manusia.
4. Keempat, Pers Mahasiswa selalu meningkatkan kompetensi dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik sehingga beritanya berkualitas termasuk proses memproduksinya sesuai kaidah baku jurnalistik.
Dengan 4 langkah tersebut, maka Pers Mahasiswa memiliki peran penting dalam menghambat dan melawan Radikalisme di Indonesia.
“Maka Polri yang bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat melakukan pencegah dan menangkal kampanye pro khilafah di berbagai media, termasuk media sosial yang tampaknya seolah-olah bebas menyebarkan berbagai HOAX dan hasutan,” Jelas Brigjen Pol Budi Setiawan.
“Upaya upaya POLRI tersebut antara lain:
1. Upaya Pencegahan, dengan melakukan patroli ciber, penyuluhan/sosialisasi, pelatihan dan kampanye pemanfaatan internet dengan bijak.
Melakukan edukasi dan komunikasi ke Penggiat medsis, para netizen, kampus ( Go to Kampus), lembaga-lembaga pers turut , proveder dalam mengkampanyekan anti HOAX utk ikut serta menjaga, mengelola dan mengkampanyekannya. Beik pihak-pihak yang memiliki kepedulian dan kepentingan yang sama untuk menjaga ruang publik internet agar sehat.
2. Upaya Pembendungan, bekerjama dengan Kementerian KOMINFO dan BSSN untuk melakukan patroli cyber, untuk kemudian memblokir dan menonaktifkan akun-akun penyebar kampanye pro khilafah dan penyebar HOAX.
3. Upaya Penegakkan Hukum, dengan cara menangkap dan memproses hukum pelaku.
“Untuk itu, peran serta Pers Mahasuswa, Kaum Milenial dan masyarakat dalam upaya POLRI tersebut penting artinya, masyarakat menolak HOAX, tidak menyebarkan, meneruskan apalagi memproduksi. Juga melaporkan segera jika menemukan adanya sebaran berita bohong dan kampanye pro khilafah di media sosial dan yang terpenting menjalankan fungsi kontrol saling mengingatkan kepada orang terdekat untuk bijak dalam mengelola informasi,”tutup Karo Multimedia Divhumas Polri Brigjen Pol Drs. Budi Setiawan. MM.
Sementara itu Sayid Iskandarsyah Ketua PWI DKI Jakarta mengatakan, di jaman yang serba digital sekarang ini media sosial sudah mendominasi di seluruh lapisan masyarakat bahkan perannya hampir melebihi media pers.
“Tugas pers kedepannya jauh lebih berat setelah adanya media sosial ini berkembang dengan demikian pesat, bahkan saat ini masyarakat lebih percaya dengan media sosial daripada media pers,” katanya
“Masyarakat akan lebih cepat mendapat informasi dari media sosial daripada media pers. Bicara akurasi pemberitaan Pers kalah cepat dengan media sosial, akan tetapi pers setiap memberikan berita harus dengan bukti yang akurat dan dari sumber yang terpercaya,” jelasnya.
“Tugas pers dalam mencegah paham radikalisme dengan memberikan edukasi dan informasi bahwa radikalisme harus di jauhi,” imbuhnya.
“Pelaku pelaku radikalisme 47% sekitar berusia 21 sampai 30 tahun, penyebaran paham radikalisme saat ini lebih banyak melalui internet atau media sosial yang sangat susah untuk di deteksi, kalo dulu mungkin secara perekrutan sehingga calon radikalisme dapat di data dan diketahui keberadaannya.,” jealasnya.
“Hoax, Pers merupakan akhir utama dalam memberantas Hoax karena saat ini media sudah begitu banyak dan kita tidak bisa membedakan mana media yang betul betul media pers dan mana yang bukan,” ucapnya
Semua orang bisa buat media, tapi mana media yang baik dan mana media yang hanya membuat propaganda. Klu media Pers, media yang taat dengan UU Pers No 40 tahun 1999 dan kode etik jurnalistik dan di bawah Dewan Pers.
Wartawan Pers akan tergabung dengan organisasi organisasi Dewan Pers antara lain dengan PWI, AJI, IJTI dan lain lain, membuat media pers harus ada badan hukum dan MoU dengan Polri jadi jika ada sengketa maka akan di mediasikan dahulu oleh Dewan Pers, media bukan pers apabila terjadi sengketa maka dapat langsung di pidanakan.
Tugas Pers memberikan Informasi dan edukasi kepada masyarakat, informasi yang bisa mengedukasi generasi muda sebagai penerus bangsa ini.
Adi Prayitno dalam paparannya mengatakan, jaman sekarang ini hampir 60% masyarakat indonesia punya media sosial, baik itu whatsapp maupun facebook.
“Akun akun media sosial facebook dan whatsapp bisa di klarifikasi, tetapi untuk akun Twitter sangat susah untuk di lacak, masing masing orang bisa membuat lebih dari 1 akun media sosial,”terangnya.
“Media sosial menjadi idola banyak orang karena media sosial memberikan informasi dengan cepat, Media mainstream, media online, media cetak dan media elektronik yang dianggap kredibel tidak obyektif memberikan informasi ke publik,” ucapnya.
“Media sosial pilihan penting para millenial saat ini karena media mainstream, media online dan media elektronik tidak lagi bisa diharapkan memberikan informasi dengan cepat,” paparnya.
Hadir juga narasumber lain antara lain Sayid Iskandarsyah Ketua PWI DKI Jakarta, Adi Prayitno. Msi. Direktur Eksekutif Parameter Publik Indonesia, para Pengurus Pers Mahasiswa, Mahasiswa dan Kaum Millenial.
Sumber ; Brigjen Pol. Drs. H Budi Setiyawan, MM
Leave a Reply