Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Oleh:
Rahmat Hidayat Djati, M.IP, (Ketua Komisi ll DPRD Provinsi Jawa Barat)

Tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Penetapan Hari Pendidikan Nasional dilatarbelakangi oleh sosok yang memiliki jasa luar biasa dalam dunia Pendidikan yaitu Ki Hadjar Dewantara, yang lahir pada 2 Mei 1889.

Peringatan Hardiknas tidak semata-mata untuk mengenang hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara selaku bapak Pendidikan di Indonesia, tetapi lebih jauh dari itu momentum hardiknas harus menjadi “moment” untuk menumbuhkan Kembali sikap nasionalisme dan patriotisme dalam dunia Pendidikan bukan sekedar menjadi agenda yang bersifat seremonial dan diramaikan dalam bentuk poster dan dijadikan status lewat whatapp, instagram lalu hilang dan lenyap begitu saja.

Lebih jauh dari itu momentum hardiknas harus menjadi refleksi kita bersama dalam melihat potret dunia Pendidikan hari ini.
Dalam undang-undang dasar 1945 alinea ke 4 menjelaskan bahwa tujuan Pendidikan adalah “mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara.” Dalam kamus besar Bahasa Indonesia “cerdas” adalah sempurna perkembangan akal budinya “mencerdaskan”adalah usaha yang dilakukan agar seseorang memiliki pemahaman dan budi pekerti yang baik.

Objek yang dicerdaskan bukan hanya peserta didik saja tetapi seluruh komponen kehidupan bangsa. Baik pada aspek budaya, sosial, sistem politik, lingkungan hidup, sehingga luas cakupannya dalam seluruh perikehidupan berbangsa.

Bangsa yang maju dan berperadaban selalu dibangun di atas tradisi literasi yang baik, bahkan dalam Islam yang menjadi wahyu pertama kepada Nabi Muhammad Saw saat bertafakur di gua hira adalah “Iqra”.

Artinya dengan membaca tingkat pengetahuan kita akan bertambah, pemahaman kita akan semakin luas, pemikiran kita akan semakin terbuka, dengan membaca peradaban kita akan menjadi maju. Namun, sayangnya kegemaran masyarakat kita dalam membaca masih sangat lemah menurut data Unesco, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.

Ini merupakan jumlah yang sangat mengecewakan artinya kegemaran masyarakat kita dalam membaca masih sangat lemah.

Di saat kondisi masyarakat kita yang malas membaca teknologi hadir dengan begitu derasnya dan tidak bisa dibendung, pada akhirnya ada sebuah pelompatan yang terjadi. Dengan ilmu yang masih sangat minim, malas baca buku, tapi sangat suka menatap layar handphone berjam-jam. Jangan heran jika Indonesia menjadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoax, dan fitnah.

Kecepatan jari untuk langsung like dan share bahkan melebihi kecepatan otaknya “masyarakat latah”. Padahal berita tersebut belum di analisis secara mendalam (tabayyun). Inilah yang disebut era Post-truth dimana sesuatu yang palsu lebih mendominasi di banding kebenaran itu sendiri.

Memasuki era industri revolusi 4.0 yang dimana segala bentuk kegiatan kebudayaan dilakukan melalui teknologi digitalisasi, adanya kehadiran robot, artificial intelegence, machine learning, biotechnology, blockchain, internet of things (IoT), serta driverless vehicle.

Singkat kata hari ini kita hidup di era yang segala sesuatunya serba mudah, serba cepat jangan sampai kita menjadi bangsa yang malas, tidak produktif tetapi harus tetap berpikir kritis terhadap segala sesuatu, terhadap berbagai situasi yang terjadi. Kecepatan dan kecanggihan teknologi “smartphone” harus berbanding lurus dengan kemampuan manusia dalam memahaminya “good people”.

Sehingga dengan begitu kita tidak akan diperbudak oleh teknologi tetapi teknologi akan banyak membantu kehidupan kita, dan menjadikan teknologi untuk lebih memanusiakan manusia. (*)